Sang Surya masih enggan menampakan sinarnya. Udara dipenghujung malam itu juga masih terasa dingin menusuk kulit hingga tulang. Malampun masih tampak diremanggi kegelapan. Di sebuah desa kecil di sebrang sungai tampak sosok laki paruh baya dengan selimut kain sarungnya yang terlilit dilehernya. Berjalan bolak balik dilanda kecemasan. Dari sisi lain terdengar jerit wanita dari dalam ruangan memecah keheningan penghujung malam itu. Semakin cemas...
Tepat ketika sang surya memunculkan cahaya pertamanya, Terdengar tangisan bayi memecah menyambut heningnya pagi yang tak lain adalah buah hati yang sedang iya tunggunya. Perasaan bahagia tak sabar ingin melihat sang buah hati pertamanya yang telah dinantikanya sejak 11 tahun silam. Iya bergegas menghampiri istrinya yang terbaring lemah di tempat tidur. Tampak senyum bahagianya keluar dari bibirnya melihat sosok bayi laki laki.
Allahhuakbar Allahuakbar. lantunan suara adzhan dibisikan pada telinga kanan bayi tersebut. Sontak mengeliat bahagia tampak pada raut wajah sang bayi seolah menikmati merdunya lantunan lafadz adzhan.
Kesunyian di desa tersebut tiba tiba meledak oleh suara burung gagak hitam yang melintas memutari pohon
di belakang rumah. Saat itulah kemudian hari berubah mendung, petir menggelegar bak memberikan pertanda buruk bagi sepasang insan yang sedang berbahagia itu.
Cepat iya menutup pintu dan jendela seakan berusaha menolak takdir yang akan segera datang. Tangisan sang bayi membuat suasana semakin mencekam.
"Wahai anakku. Berhentilah menangis.." ucap lelaki paruh baya itu sambil menimang-nimang bayinya. Namun tangisan bayi tersebut tak kunjung berhenti. Hingga terdengar suara lirih memanggil. "Mas... Aku titip bayi kita.." ucap sang istri terbata bata. "Kamu hendak kemana Sayank..." sahut sang suami seraya mendekati istrinya. Seketika sang istri memejamkan mata dengan nafas yang tersengal..
9 Tahun kemudian..
"Ayah, Kenapa ibu tidak ada bersama kita disini..?" Tanya sang anak yang diberi nama Anggar Adiwijaya.
Sang ayah hanya terdiam. Tidak ada sedikitpun kata yang terucap dari mulut sang ayah hanya mengelus pundak Anggar kemudian pergi.
Aneh! Seperti ada yang di sembunyikan dibalik kematian sang ibu. Tampak raut wajah sedih tiap kali Anggar menanyakan tentang ibunya. Ada apa.? Apa yang sebenarnya terjadi dengan ibunya.?
25 tahun sudah rasa penasaran itu menghantui pikiran Anggar. Tepat di usia 25 tahunya, Anggar meminta izin untuk meminang seorang gadis pujaanya.
.
"Nak, Kamu yakin ingin menikahinya.?" Tanya ayahnya serius.
"Iya ayah, Aku sungguh mencintainya.." Jawab Anggar berusaha meyakinkan ayahnya.
Melihat ayahnya terdiam, Anggar kembali mengajukan pertanyaan kepada ayahnya.
"Kenapa ayah, Wajahmu tampak sedih.. Apakah kaw tidak senang melihat putramu ingin meminang gadis pilihanya..?"
"Ayahnya pun menjawab "Tidak anakku.. Bukan itu masalahnya.. Tapi......." Ucap sang ayah terpotong.
"Tapi kenapa ayah..?" Tanya Anggar dengan penuh rasa ingin tau. Namun seperti biasa pertanyaan anggar kembali sia sia karna ayahnya malah terdiam kemudian pergi.
Matahari mulai tenggelam, Gemuruh angin sore menerbangkan dedaunan yang jatuh di depan rumah, Burung burung trbang kembali ke sangkarnya. Pertanda waktu malam akan tiba.
Malam itu, Rabu Paing tepat malam kelahiran Anggar dan juga kematian ibunya. Sepi, hanya detik jam yang terdengar keras memecah suara keheningan malam. Anggar sudah tertidur sejak sore tadi, mungkin karna kecapean.
"Anakku...!" Ucap sang ayah lirih sambil menghampiri Anggar yang sedang tertidur pulas.
"Malam ini adalah malam perjuangan ibumu untuk menghadirkanmu ke muka bumi ini... Beliau pasti sangat bangga jika bisa bersamamu melihatmu tumbuh dewasa... Tapi apalah dayanya, Beliau harus lebih dahulu pergi meninggalkan kita..."
"Saat itu ayah benar-benar tak tau harus berbuat apa... Perasaan Senang, karna kaw akan segera hadir di dunia ini menemani ayah, tapi sekaligus juga sedih karna akan di tinggalkan ibumu..."
"Konon dahulu kala moyangmu pernah dikutuk untuk mengikhlaskan setiap istri pertamanya dari ketujuh turunanya... Kecuali jika ada yang bersedia untuk menghentikan kutukan dengan cara tidak menikah lagi dan bersedia menjadi tumbal pengganti kutukan yang terakhir... Maka dari itulah ayah tidak pernah menikah lagi... Ayah ingin kamu dan keturunanmu terbebas dari kutukan itu nak..."
"Umurmu sudah 25 tahun... Ayah rasa kamu sudah cukup matang untuk menikah... Itu artinya, Ayah hanya akan sampai disini menemani kamu mengarungi hidup.. Jika nanti kaw menikah, Ayah pesan Jangan pernah sekalipun kamu sakiti istri dan keluargamu... Ajarkan mereka tentang ilmu agama... Karna mereka yang akan mengantarkanmu menuju surga..." *ARM